Oleh KARSIDI DININGRAT
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS An-Nisa, 4: 58).
Dalam firman-Nya yang lain dinyatakan, “Dan janganlah kebencianmu pada suatu golongan menyebabkan engkau tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu mendekati taqwa.” (QS Al-Maidah, 5: 8).
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang adil, yaitu yang bersikap adil dalam mengadili dan kepada keluarganya maupun rakyatnya, (di hari Kiamat kelak) berada di dalam tempat dari cahaya. Dia juga ditempatkan di sisi kanan Allah, yang kedua tangan-Nya adalah kanan.” (HR Muslim).
Rasulullah saw juga telah bersabda, “Apabila amanat di sia-siakan, maka tunggulah saat hari kiamat.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimanakah menyia-nyiakannya, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, “Apabila suatu perkara itu diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya hari Kiamat.” (HR Bukhari).
Dalam hadits lain Rasulullah saw disebutkan, “Apabila suatu perkara diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).
Pada hadits pertama telah disebutkan bahwa apabila amanat diserahkan bukan lagi kepada ahlinya, maka tunggulah saat hari kiamat, yakni hari kiamat sudah dekat masanya.
Hal ini, Rasulullah menyebutkan tentang salah satu pertanda akan datangnya hari kiamat tersebut.
Dalam hadits ini dijelaskan pula bahwa bilamana suatu perkara diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.
Dalam hadits pertama makna lahiriahnya menunjukkan kiamat kubra(kiamat besar), sedangkan dalam hadits ini makna lahiriahnya menunjukkan pengertian kiamat shughra (kiamat kecil).
Pada hadits lain Rasulullah saw bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada amir (raja), maka Dia menjadikan untuknya seorang patih (pembantu) yang setia. Apabila ia lupa, patih akan mengingatkannya dan bilamana ia ingat, patih membantunya. Apabila Allah menghendakinya selain dari itu, maka Dia menjadikan untuknya patih yang jahat, yaitu apabila ia lupa, patih tidak mengingatkannya, dan apabila ia ingat, patih tidak mau membantunya.” (HR Imam an-Nasa’i).
Seorang raja atau presiden atau pimpinan bila ditakdirkan baik oleh Allah, maka Allah menjadikan baginya pembantu yang setia. Bila ia keliru diluruskannya, dan bila benar dibantunya dengan tulus, sedangkan bila ia ditakdiran buruk oleh Allah, maka Dia menjadikan untuknya pembantu yang jahat, dalam arti kata bila ia keliru dibiarkannya, dan bila benar tidak dibantunya.
Dalam hadits yang lain lagi, Beliau saw bersabda, “Tiadalah sekali-kali Allah mengutus seorang nabi, dan tiada sekali-kali Dia mengangkat seorang khalifah, kecuali disertakan dua sahabatnya. Pertama, sahabat yang memerintahkannya kepada hal-hal yang ma’ruf serta memberinya semangat untuk mengerjakan perkara ma’ruf dan yang kedua, sahabat yang memerintahkannya kepada hal-hal buruk serta memberinya semangat untuk mengerjakannya.
Adapun orang yang ma’shum adalah orang yang dipelihara oleh Allah Swt (dari keburukan tersebut).” (HR Bukhari).
Setiap pemimpin pasti akan disertai oleh dua orang pembantunya. Yang pertama, menganjurkannya untuk berbuat kebajikan dan membantu untuk merealisasikannya. Dan yang kedua, menganjurkannya untuk berbuat keburukan serta membantu untuk mewujudkannya, karena itu hati-hatilah terhadap pembantu yang akan menjerumuskannya ke dalam keburukan.
Orang yang dipelihara oleh Allah terhindar dari keburukan tersebut, seperti yang dialami oleh para nabi dan rasul.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tiada seorang hamba diberi kepercayaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak mengerjakan kepercayaannya itu dengan niat yang tulus ikhlas (karena Allah) kecuali ia tidak akan menemukan baunya surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kecuali ia tidak dapat mencium bau surga. Makna yang dimaksud ialah bahwa ia tidak dapat masuk surga. Barang siapa yang dipercaya oleh Allah mengatur urusan suatu kaum, rakyat, tetapi ia tidak berlaku adil dalam tugasnya, maka surga itu haram baginya.
Dalam hadits yang lain Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah swt, akan menanyakan kepada setiap pengembala tentang apa yang telah digembalakannya, apakah dia memeliharanya ataukah menyia-nyiakannya, hingga seorang lelaki ditanyakan tentang keluarganya.” (HR Ibnu Hibban melalui Anas r.a.).
Kelak di hari kiamat, setiap orang akan mempertanggung jawabkan semua amal perbuatan yang telah dikerjakannya sewaktu hidup di dunia. Pertanggungjawaban ini di hari kemudian melalui proses hisab yang dilakukan oleh Allah swt terhadap dirinya. Bilamana ia seorang pemimpin, maka ditanyakan kepadanya tentang rakyat yang dipimpinnya, apakah ia memelihara amanah terhadap rakyatnya ataukah menyia-nyiakannya.
Setiap orang akan ditanyakan tentang gembalaannya sehingga seorang lelaki ditanya pula tentang keluarganya yang merupakan gembalanya, apakah ia membawa keluarganya ke arah petunjuk ataukah ia menyesatkan dan menjerumuskan mereka.
Penulis adalah
-Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung;
-Wakil Ketua I Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al-Washliyah