Karsidi Diningrat
Oleh : Karsidi Diningrat
SETIAP masyarakat, di mana pun dan kapan pun, selalu memiliki pemimpin yang berperan amat sentral dalam mengarahkan gerak masyarakat atau kelompok yang dipimpinnya.
Selain menentukan gerak masyarakatnya, pemimpin tersebut juga akan menentukan prestasi yang akan dihasilkan oleh masyarakat tersebut. Oleh karena itu, berbicara tentang soal kepemimpinan ini – khususnya dalam skala nasional – amat penting sekali dan seyogianyalah setiap warga negara memahami peran pemimpin nasionalnya agar proses pemilihan dan kontrol dari fungsi kepemimpinan nasional dapat memperoleh perhatian dan partisipasi dari sebanyak mungkin warga negara.
Apabila hanya sedikit dari warga negara yang sadar akan makna pentingnya pemimpin nasionalnya terhadap nasib mereka maka bangsa itu hakikatnya masih merupakan bangsa yang lemah atau belum matang.
Rasulullah saw bersabda, “Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan.” (HR Muslim).
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR al-Bukhari & Muslim).
Cinta Kedudukan
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abul ‘Aliyah r.a. duduk lalu ada empat orang atau lebih ikut duduk bersamanya, maka ia beranjak bangkit meninggalkan tempat duduk itu. Sedangkan Khalid bin Ma’dan, bila majelisnya semakin banyak, maka ia segera beranjak dari tempat duduk, karena takut menjadi tenar. Az-Zuhri bertutur, “Kami tidak melihat zuhud dalam sesuatu yang lebih minim daripada kekuasaan (jabatan). Kami melihat seseorang zuhud dalam makanan, minuman, dan harta. Namun tatkala kami membagi-bagi jabatan, maka ia mau menerimanya.” Karena itulah ada yang berkata, “Terakhir kali yang mengeluarkan dari kafilah orang-orang jujur adalah cinta jabatan (kedudukan).”
Bila ada yang berkata, “Itu semua adalah keutamaan, tidak terkenal dan tidak mencari ketenaran. Lantas, ketenaran mana yang melebihi ketenaran para nabi dan pemimpin ulama?”
Maka kami jawab, “Yang tercela adalah jika manusia mencari ketenaran. Adapun ketenaran yang datang dari anugerah Allah tanpa harus susah payah mencarinya, itu tidaklah tercela. Akan tetapi, ketenaran itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah hatinya. Pasalnya, orang yang lemah hatinya ibarat orang yang tenggelam dan tidak bisa berenang. Bila seseorang bergantung padanya maka ia akan mati tenggelam. Adapun orang yang pandai berenang, jika ada orang yang bergantung padanya, maka ia akan menjadi sebab keselamatannya”.
Keluasan pangkat tanpa didasari ambisi yang besar dalam mencarinya dan tanpa disertai kesedihan saat kehilangannya maka tidak ada mudarat di dalamnya. Karena, tidak ada yang lebih luas daripada jabatan Rasulullah saw dan para ulama sesudahnya. Hanya saja, kecenderungan mereka dalam mencari jabatan atau pangkat adalah aib dalam hal agama dan tidak ada isyarat pengharamannya.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashur as-Sa’di, berkata, “Kepemimpinan menghimpun dua perkara: agama dan dunia. Karena maksud semua jabatan adalah untuk memperbaiki kemashlahatan agama manusia dan dunia mereka. Oleh karenanya ia terkait dengan perintah dan larangan, keharusan melaksanakan kewajiban, pencegahan dari perkara haram, dan keharusan melaksanakan hak. Demikian pula perkara-perkara politik dan jihad, ia hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ikhlas kepada Allah dalam mengembannya dan melihat pelaksanaan kewajibannya sebagai ibadah yang utama. Kalau bukan mereka niscaya bahaya besar akan terjadi.”
Di dalam masalah ini, tujuan manusia berbeda-besa. Namun, kebanyakan manusia tidak ingin dilihat orang banyak dengan pandangan rendah dan kurang.
Rasulullah saw telah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat dzarah (atom).”
Kemudian seseorang berkata, “Sesungguhnya ada seseorang yang senang jika pakaiannya dan alas kakinya bagus, bagaimana ini?”
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allah maha Indah dan mencintai keindahan.
Yang dimaksud dengan kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR Muslim).
Gila Hormat
Dalam suatu riwayat Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menginginkan agar orang-orang berdiri menghormatinya, maka hendaknya ia bersiap-siap untuk menyambut tempatnya di neraka.” (HR Ahmad melalui Muawiyah).
Orang yang gila hormat dan takabur diancam oleh hadits ini, bahwa kelak di hari kemudian ia akan menempati tempat tinggal yang telah disediakan untuknya di neraka.
Rasulullah saw telah bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan di antara apa yang aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa syirik kecil itu?”
Beliau menjawab, “Riya”.
Allah berfirman kepada mereka, pada hari kiamat kelak, saat Dia memberi balasan amalan-amalan manusia, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya di dunia. Apakah kalian mendapatkan kebaikan di sisi mereka?” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Ibnu Qudamah berkata, “Ketahuilah bahwa pokok riya’ adalah cinta pada kedudukan dan jabatan.
Jika dirinci maka ia kembali pada tiga pokok. Pertama, senang terhadap pujian. Kedua, menjauhkan diri dari sakitnya celaan. Ketiga, tamak terhadap milik orang lain.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa, “salah satu ciri orang yang riya adalah selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan …” (HR Ibnu Babawih).
Dalam hal ini berdasarkan hadits Abu Musa. Ia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu perihal orang yang berperang dengan gagah berani, berperang dengan fanatisme, dan berperang dengan riya’? Mana di antara mereka yang berada di jalan Allah?
Beliau menjawab, ‘Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berada di jalan Allah.” (HR Bukhari).
Arti berperang dengan gagah berani adalah agar namanya disebut-sebut dan dipuji.
Arti berperang dengan fanatisme adalah ia tidak mau bila dikalahkan atau dihina.
Sedangkan, arti berperang dengan riya’ adalah supaya kedudukannya diketahui orang lain.
Ini adalah kenikmatan pangkat dan kedudukan di dalam hati manusia. Dalam hal ini Rasulullah memperingatkan bahwa “Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli.” (HR ad-Dailami).
Berambisi pada Kedudukan
Janganlah ingin menjadi orang terkenal, karena sesungguhnya pujian orang itu kadang-kadang menggelincirkan, terlebih lagi jika orang yang bersangkutan terkenal keburukannya, maka ketenarannya itu akan memperburuk keadaannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Berdosalah seseorang bila ia menjadi subyek dari telunjuk orang banyak, apabila dia seorang yang baik, maka hal tersebut dapat menggelincirkannya, kecuali orang yang dirahmati Allah. Dan apabila dia seorang yang jelek maka bertambahlah keburukannya.” (HR Baihaqi).
Tidak disangsikan bahwa tabiat manusia senang mendapat pujian. Kebanyakan manusia mempunyai watak demikian, namun tentunya dengan tingkatan yang berbeda. Yang baik bagi manusia adalah mendidik dirinya untuk tetap melakukan pekerjaan walaupun tidak mendapat pujian. Jika mendapat pujian, maka itu kebaikan dan keberkahan, dan cahaya di atas cahaya.
Barangsiapa terlampau menumpukan perhatian kepada pangkat dan kedudukan, mengharapkan kemuliaan dan ketinggian di hati orang banyak, maka telah terbuka baginya pintu bencana dan bahaya, seperti halnya riya’ takabur dan menonjolkan diri. Ketika itu, ia senantiasa tinggi hati terhadap kebenaran dan ahlinya, tidak suka merasakan kekecilan dan kehinaan dirinya, dan beberapa sikap yang medatangkan bahaya dan bencana.
Rasulullah saw telah bersabda, “Tiada seorang hamba pun di dunia ini menghendaki agar kedudukannya diangkat satu derajat, kecuali Allah swt akan merendahkannya kelak di akhirat dalam kadar yang lebih rendah dan lebih hina daripada yang sekarang.” (HR Thabrani).
Hadits ini memperingatkan kepada kita agar kita berzuhud terhadap kekuasaan dan kedudukan, karena sesungguhnya kekuasaan dan kedudukan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang tidak menghendakinya.
Barangsiapa yang menghendaki kedudukan atau kekuasaan atau pangkat yang lebih tinggi dari apa yang diperolehnya sekarang, maka kelak di hari kemudian Allah akan merendahkannya kemasyhurannya dan bersih suci-hati-ikhlas.
Seorang dikatakan tercela dalam menyintai harta dan kedudukan berikut penumpuan semua perhatian terhadapnya, manakala kecenderungannya kepadanya telah melampaui batas-batas kewajaran. Maka jelaslah, bahwa orang yang hanya menumpuan perhatian kepada harta dan jabatan sebenarnya telah meletakkan dirinya dalam bahaya yang besar dan bencana yang berat. Kecuali, Allah memelihara dan melepaskannya dari bahaya itu dengan rahmat-Nya.
Dalam hal ini Rasulullah saw, bersabda, “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR ath-Thabrani).
Demikianlah, hati-hati dan jangan salah memilih pemimpin dan hati-hati jika ingin menjadi pemimpin.
Penulis adalah dosen pada FDK UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Wakil Ketua I Majelis Pendidikan Pengurus Besar al-Washliyah